Ketika kondisi menjadi demikian, praktik komersialisasi pendidikan sangat mungkin terbuka lebar. Sehingga, harga pendidikan dalam konteks demikian pun jadi tak terjangkau. Bagi sekelompok anak orang kaya dan pejabat, mencari dan memperoleh pendidikan sangat mudah. Sebab, orang tua mereka berduit. Puluhan atau ratusan juta rupiah tinggal diperoleh dari kantong pribadi orang tua.
Sebaliknya, bagi anak-anak orang miskin, hal tersebut sangat susah didapat. Sebab, penghasilan orang tua mereka sangat pas-pasan, mulai yang berkerja sebagai tukang becak, penjahit, hingga sejumlah profesi lain yang berpenghasilan sangat rendah atau di bawah pendapatan rata-rata.
Sehingga, anak-anak orang miskin terancam tidak bisa belajar di bangku pendidikan tinggi. Masa depan pendidikan mereka menjadi suram. Akhirnya, hanya anak-anak orang kaya yang berhak mendapatkan pendidikan, harus bermasa depan cerah dan cemerlang. Mereka menemukan nasib baik. Mereka menjadi anak-anak cerdas. Sedangkan anak-anak orang miskin tidak memiliki hak sama untuk diperlakukan adil dalam mendapatkan pendidikan. Mereka harus menjadi orang bodoh, anak yang harus rela hidup dalam kehancuran masa depan. Anak-anak orang miskin harus menjadi gelandangan, buangan, terpinggirkan, dan terbelakang.
Diskriminasi
Yang jelas, UU BHP telah melahirkan pelayanan pendidikan diskriminatif. Ia telah melahirkan disparitas pendidikan yang sangat jauh dan melebar antara anak-anak orang kaya dengan anak-anak orang miskin. Seolah, siapa pun yang akan mendapatkan pendidikan harus diukur dari seberapa banyak uang yang dimiliki sebagai biaya masuk untuk duduk di bangku pendidikan tinggi.
Memperoleh pendidikan tinggi ibarat membeli sayur-mayur di pasar. Menikmati pendidikan tinggi seakan-akan membeli seorang pelacur cantik kelas bonafide sehingga harus menyediakan dana sangat besar.
Jika demikian, ibaratnya menegakkan benang basah. Karena itu, UU BHP tidak lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, membawa masa depan anak-anak negeri bermasa depan tercerahkan, dan ikut meningkatkan kualitas anak-anak bangsa supaya bisa berkiprah dalam memajukan negeri ini di segala dimensi. UU BHP sangat mendorong terciptanya kemunduran pendidikan. Sebab, pendidikan tinggi bersifat elite dan eksklusif. Ia dilahirkan untuk kalangan tertentu saja. Pendidikan tinggi diciptakan untuk memuaskan sekelompok orang semata, bukan melayani kepentingan bersama.
UU BHP merupakan kepanjangan tangan sekelompok orang yang memiliki tujuan menjadikan negeri ini tetap terbelakang. Bahkan, ia menjadi penguat legitimasi supaya praktik Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menjadi kian bertambah tumbuh subur di negeri ini. Itu sebuah ironi. Pertanyaannya, apakah DPR sudah memprediksi kecurigaan seperti itu? Apakah pemerintah sudah mempertimbangkan dampak UU BHP bagi praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi bangsa ini? Terlepas jawabannya “ya” atau “tidak”, diamnya pemerintah sehingga DPR berhasil mengesahkan RUU BHP menjadi UU BHP telah memberikan satu realitas. Yakni, itulah realitas politik yang terjadi. Seolah tidak ada keseriusan sama sekali untuk mengurusi dunia pendidikan.
Siapa pun akan berkata, UU BHP telah melanggengkan upaya sistematis agar yang kaya tetap menjadi orang nomor satu, sedangkan yang miskin tetap menjadi orang di nomor paling buncit. Anak-anak orang kaya harus berkuasa dan menjadi penguasa. Sementara itu, anak-anak orang miskin harus dikuasai dan ditindas. Lebih tepatnya, anak-anak orang kaya harus tetap menjadi majikan. Anak-anak orang miskin tetap menjadi budak. Itulah agenda tak tertulis yang dikehendaki UU BHP.
Arah Pendidikan
Karena itu, potret pendidikan akibat UU BHP mengakibatkan arah pendidikan di negeri ini menjadi tidak jelas atau bias. Bila tujuan pendidikan, berdasar UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 4, dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan biaya pendidikan harus didanai pemerintah, hal tersebut pun menjadi gagal dijalankan dengan sedemikian berhasil. Pertanyaan selanjutnya, apakah elite negeri ini sudah membaca poin-poin dalam UUD 1945 yang mengatur penyelenggaraan pendidikan secara seksama sebelum mengesahkan RUU BHP menjadi UU BHP? Itulah pertanyaan penting yang sangat pantas diajukan kepada mereka.
Aktivitas Pembelian di Loket Stasiun Dikurangi
-
BANDUNG, suaramerdeka.com - Meski pengurangan loket tak jadi dilakukan, PT
Kereta Api Indonesia (KAI) berupaya mengurangi aktivitas pembelian tiket
melalui…
0 comments:
Post a Comment
Silakan tulis komentar, pendapat, opini, unek-unek kawan, di kotak yang telah disediakan.
Please write your comment in the box below. Thanks for browsing.